(ARTIKEL) Masyarakat Boti Adat: Sang Penjaga Tradisi yang Takluk Oleh Pariwisata


Suku Boti merupakan salah satu suku di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur yang masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya. Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, Atoni Metu. Secara administratif kini menjadi desa Boti kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman. Kehidupan sehari-hari suku boti masih sangat tradisional dan jauh dari peradaban kehidupan sekarang yang serba modern.
            Masyarakat Boti terbagi menjadi dua komunitas masyarakat, yang mana ada masyarakat Boti luar (masyarakat Boti yang menerima kemajuan peradaban) dan masyarakat Boti adat (masyarakat Boti yang masih memegang teguh adat istiadat suku Boti). Melalui pembagian atas Boti tersebut membuat kepemimpinan di desa Boti terbagi menjadi dua, pemimpin secara administrasi dan pemimpin secara kultural. Kepala desa menjadi pemimpin administrasi di desa yang berkaitan dengan urusan pemerintahan. Sedangkan Bapa Raja, bisa dibilang kepala suku, memimpin secara kultural masyarakat Boti. Namun kenyataannya secara keseluruhan seluruh masyarakat Boti lebih tunduk terhadap Bapa Raja dibanding Kepala desa.
            Bapa Raja Boti, Usif Nama Benu, menggantikan ayahnya, Usif Nune Benu yang wafat pada bulan Maret 2005. Usif adalah sebutan atau gelar yang diberikan Suku Boti terhadap raja mereka yang juga merupakan pemimpin kultural warga Boti. Sejak meninggalnya Usif Nune Benu, orang Boti menjalani masa berkabung, karena itu selama tiga tahun lamanya orang Boti tidak mengadakan pesta-pesta adat. Menurut sang Raja baru, Usif Nama Benu, biasanya mereka mengadakan kegiatan pesta adat seusai panen namun selama masa berkabung ini ditiadakan untuk menghormati sang ayah Usif Nune Benu. Masyarakat Suku Boti berkabung selama 3 tahun setelah wafatnya Raja Boti Usif Nune Benu pada bulan Maret 2005. Suku Boti dikenal sangat memegang teguh keyakinan dan kepercayaan mereka yang disebut Halaika. Silansir dari delegasi.com masyarakat Boti adat percaya pada dua penguasa alam yaitu Uis Pah dan Uis Neno. Uis Pah sebagai mama atau ibu yang mengatur, mengawasi, dan menjaga kehidupan alam semesta beserta isinya termasuk manusia. Sedangkan Uis Neno sebagai papa atau bapak yang merupakan penguasa alam baka yang akan menentukan seseorang bisa masuk surga atau neraka berdasarkan perbuatannya di dunia.
            Menurut falsafah hidup orang Boti, manusia akan selamat dan sejahtera bila merawat dan melestarikan lingkungan hidup. Dalam kehidupan keseharian mereka segala sesuatu mereka dapatkan dari alam seperti halnya keperluan sandang yang dibuat dari benang kapas dan pewarna yang mereka dapatkan dari tumbuhan di lingkungan sekitar mereka. Dalam kehidupan sehari-hari ada pembagian tugas yang jelas antara kaum lelaki dan perempuan. Para lelaki bertugas mengurusi permasalahan di luar rumah, seperti berkebun, dan berburu. Sementara urusan rumah tangga, diserahkan kepada kaum perempuan. Meskipun pembagian peran ini biasa dijumpai dalam sistem kekerabatan, ada satu hal yang membuat warga Boti agak berbeda, mereka menganut monogami atau hanya beristri satu. Seorang lelaki Boti yang sudah menikah, dilarang memotong rambutnya. Sehingga bila rambut mereka semakin panjang, mereka akan menggelungnya seperti konde. Bila kepercayaan dan aturan adat Boti dilanggar, maka akan dikenakan sanksi, tidak akan diakui sebagai penganut kepercayaan Halaika, berarti harus keluar dari komunitas suku Boti, sebagaimana yang terjadi pada putra sulung Laka Benu, kakak dari Raja Usif Nama Benu. Laka Benu yang seharusnya menjadi putra mahkota, memeluk agama Kristen sehingga ia harus meninggalkan komunitas Boti Adat (Jayanti, 2015).
            Menurut Molo Benu, yang juga merupakan adik dari Usif Nama Benu, untuk dapat terus menjaga dan menjalankan adat dan kepercayaan mereka, anak-anak dalam satu keluarga dibagi dua, separuh dari anak-anak mereka diperbolehkan bersekolah sementara yang lainnya tidak diperkenankan bersekolah dengan tujuan agar dapat teguh memegang adat tradisi mereka. Aturan pendidikan bagi anak-anak Boti bertujuan agar tercipta keseimbangan antara kehidupan masa sekarang dengan kehidupan berdasarkan adat dan tradisi yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka. Banyak kaum tua Boti yang tidak lancar bahkan tidak bisa berbahasa Indonesia termasuk sang raja. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa daerah Dawan. Namun demikian bahasa bukan halangan bagi warga Boti untuk menyambut tamu-tamu mereka yang datang ke desa mereka. Keramahan dan senyum hangat mereka rasanya sudah lebih dari cukup sebagai media komunikasi, simbol keterbukaan mereka terhadap para pengunjung yang ingin merasakan kedamaian dan kesahajaan di Desa Boti.
            Tradisi dan kehidupan suku Boti inilah yang membuat daya tarik wisata yang bernilai luar biasa dimana sering di kunjungi baik dari wisatawan lokal dan wisatawan luar negeri maupun dari media cetak atau media elektronik yang ingin meliput kehidupan dan tradisi budaya yang masih tradisional yang turun temurun dari nenek moyangnya dan kepercayaan asli orang Timor yaitu animisme. Tempat suku Boti berjarak ± 40 km dari kota Soe dan dapat ditempuh ± 50 s/d 60 menit dengan menggunakan rental mobil, angkutan pedesaan maupun motor ojek.
            Banyak hal yang berubah sejak masyarakat Boti adat dibuka untuk pariwisata. Menurut analisis penulis berdasarkan pengalaman yang ada dan membandingkan dengan cerita dari masyarakat Boti adat dahulu aturan adat sangat ketat terkait hubungan masyarakat Boti dengan masyarakat di luar Boti. Masyarakat Boti khususnya masyarakat Boti adat sangat tertutup akan kemajuan peradaban dan hal ini menjadi berbeda ketika pariwisata masuk. Banyak wisatawan yang datang juga merupakan agen-agen pembangunan untuk meretas pendidikan masyarakat pedalaman, penyuluh kesehatan dan pemerhati budaya. Namun masing-masing dari mereka membawa bekal yang secara tidak sadar dilakukan oleh masyarakat Boti ada yang tertutup. Salah satunya adalah masalah pendidikan sama seperti halnya kakak dari Usif Nama Benu yang menganut kristen dan dikeluarkan dari Boti adat. Harusnya pendidikan menjadi hal yang dilarang, namun sejak perkembangan pariwisata di desa Boti khususnya Boti adat pendidikan menjadi kewajiban lain. Meski tetap ada konsekuensi yang dianut yaitu dalam komunitas Boti adat yang hanya terdiri dari 77 kepala keluarga dan masing-masing kepala keluarga membagi anaknya untuk ada yang keluar agar mengenyam pendidikan. Sehingga anak-anak yang melanjutkan pendidikan harus ikut keluarganya yang berada di luar komunitas Boti adat, namun masih di kawasan desa Boti.
            Perubahan sosial ini menurut penulis akan mengancam masyarakat Boti itu sendiri seiring dengan berjalannya waktu. Hal tersebut akan membuat kecemburuan dari anak-anak Boti adat yang sekolah dan tidak sehingga ini bisa menjadi bom waktu untuk kemudian hari. Melalui pendidikan juga masyarakat Boti adat yang sebelumnya hanya menggunakan bahasa dawan dalam berkomunikasi. Banyaknya juga kunjungan dari masyarakat lokal yang tidak membawa guide ke Boti membuat sebagian dari mereka ada yang bisa berbahasa Indonesia untuk menyambut wisatawan tersebut.
            Perubahan lain adalah adanya homestay yang disediakan bagi wisatawan yang ingin berkunjung lebih dari satu hari. Uniknya homestay distandarisasi lebih tinggi dari tempat tinggal mereka, terdapat lampu yang dicharge setiap seminggu sekali dan selalu tersedia air bersih di kamar mandi. Hal ini sangat berbanding dengan mereka, terutama dalam pengadaan lampu dan air bersih. Hal ini membuat mereka harus berkunjung ke pasar minggu setiap minggunya, yang diadakan setiap hari Jumat untuk mengisi baterai lampu melalui pengisian dengan charger tenaga diesel. Selain itu air bersih yang melimpah untuk wisatawan membuat perempuan Boti adat harus berusaha ekstra untuk mencari air dan kebutuhan air mereka akan menjadi lebih banyak karena adanya wisatawan.
            Perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Boti menurut penulis terjadi untuk menyeseuaikan diri dengan standar dan kebutuhan wisatawan. Perbedaan fasilitas antara wisatawan dan warga lokal Boti adat menjadi hal lucu yang sangat kontas dapat disaksikan di malam hari berdasarkan pengalaman penulis ketika bermalam di Boti adat. Masyarakat Boti adat tidak sadar bahwa apa yang telah mereka jaga selama ini, adat istiadat, mulai terusik dengan apriwisata. Mereka memang tegas menolak bantuan apapun dari pemerintah, namun mereka terlena dengan pariwisata yang terkadang wisatawan pun merupakan agen-agen pemerintah dalam melancarkan usahanya. Masyarakat Boti adat yang dahulu bertransaksi dengan barter terhadap masyarakat lain di sekitar mereka kini harus menggunakan uang yang didapat dari wisatawan dan menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan wisatawan juga. Lalu mereka dapat apa dari pariwisata? Hanya dapat nama masyarakat Boti yang lebih dikenal luas dan adat istiadat yang setiap harinya seperti kijang ditodong senapan, adat istiadat yang terancam keberadaannya dengan pariwisata.
Refrensi
Delegasi Online. 2017. Mengenal Suku Boti di TTS- Nusa Tenggara Timur. www.delegasi.com Diakses pada 10 desmber 2018 pukul 20.13 WIB.
Jayanti, I Gusti Ngurah. 2015. Budaya Boti dan Eksistensinya di Era Kekinian. Jurnal Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Volume 22 (145 – 160).

Komentar