Membelah Malam dengan Asap: Berjualan Sate untuk Masa Depan, Sebuah Dokumentasi Visual Antropologi




Lokasi: Depan Griya Kost AA, Kerto Rahayu. Ganbar diambil pada Kamis, 13 April 2017, pukul 20.45 WIB

                Ali Mahmudi, biasa disapa mas Mudi. Pria yang lahir dua puluh tujuh tahun silam ini berasal dari tanah garam, tanahnya Karapan Sapi, Madura. Lahir dan besar di Madura membuat mas Mudi menjadi pria yang tangguh dan mandiri hari ini. Setelah memutuskan untuk hidup mandiri dari bayang-bayang orang tua, mas Mudi memutuskan untuk merantau ke Kota Malang. Merantau bukan sekedar tradisi bagi orang Madura tetapi sebagai bentuk bakti dan rasa simpati kepada orang tua yang sedari kecil terus menyaupinya dengan kebahagiaan. Kini saatnya untuk mandiri mendulang kebahagiaan dan memulai mengukirkan masa depannya. Denga tekad tersebut, bulatlah mas Mudi untuk merantau dan hidup mandiri sejak empat tahun yang lalu.
            Hidup mandiri tidak semudah dengan apa yang telah diekspektasikan pria kelahiran Madura ini. Hidup terombang ambing di awal perantauannya di kota Apel membuatnya sempat berfikir akan kembali ke tanah asalnya, namun dengan keteguhan diri dan rasa tinggi akan harga diri mas Mudi mengurungkan niatan tersebut. Satu setengah tahun dilalui untuk hidup, belajar, dan bekerja dengan kenalannya yang lebih dahulu merantau dan memiliki usaha sebagai penjual sate. Dari situlah dengan modal ilmu dan materi yang telah dikumpulkan selama satu setengah tahun, mas Mudi memberanikan diri memulai usaha sendiri berjualan sate. Usaha ini juga yang dia pegang untuk mengukir masa depannya. Hasil penjualan selalu ditabung sebagaian untuk modalnya melamar seorang Wanita yang kelak akan menjadi istrinya dan sebagai tabungan untuk mengembangkan usahanya.
            Memulai hari dengan berbelanja ke pasar setiap hari mas Mudi lakukan untuk mendapatkan daging ayam dan kambing dengan kualitas terbaik. Setelah dari pasar mas Mudi melanjutkannya dengan membuat irisan daging ayam dan kambing yang kemudian ditusukan ke sebatang lidi. Persiapan bukan hanya dari segi bahan utama namun bahan pendukung seperti bumbu bakar dan bumbu kacang dilakukan secara mandiri dengan kombinasi pengetahuannya ketika ikut bekerja dengan teman dan idenya sendiri untuk menciptakan rasa sate yang lebih enak. Setelah persiapan selesai kira-kira pukul 16.30 – 17.00 mas Mudi yang tinggal di Dinoyo mengawali hari berjualannya dari Dinoyo. Sekitar pukul 19.30 – 20.00 mas Mudi sampai di daerah Kerto, dan pada jam-jam segitu pula mas Mudi biasa mangkal di depan Griya Kost AA, Kerto Rahayu.
            Selama pengamatan dan wawancara, mas Mudi cukup digemari oleh kalangan Mahasiswa. Banyak mahasiswa yang berasal dari kos-kosan sekitar mas Mudi mangkal berdatangan seraya dengan teriakan mas Mudi dan tanda asap yang membelah malam Kerto setiap hari nya. Kebanyakan dari pembeli lebih memilih membeli sate kambing dibanding ayam, dengan alasan harga yang sama. Harga seporsi sate kambing maupun ayam tanpa nasi atau lontong dihargai sama sebesar Rp 10.000,00 jika ditambah dengan nasi atau lontong sebesar Rp 13.000,00. Dari wawancara banyak pembeli lebih memilih sate kambing karena di kota asal mereka biasanya sate kambing lebih mahal daripada sate ayam. Namun menurut mas Mudi hal ini merupakan strateginya dalam berjualan, memang harga sate kambing dan ayam sama namun secara porsi, sate kambing diiris dengan irisan yang lebih kecil dibanding sate ayam. Menurutnya jika dia membedakan ke dua harga sate tersebut maka pembeli akan cenderung membeli sate ayam, namun jika harga disamakan memang pembeli cenderung membeli sate kambing namun ketika sate kambing habis pembeli jarang yang menolak jika ditawari sate ayam. Melalui strategi tersebutlah mas Mudi perharinya mampu meraup keuntungan sebesar Rp 150.000,00 – Rp 300.000,00.
            Bukan perkara mudah dalam menjalani usahanya ini, menurut mas Mudi banyak sekali kendala dan hambatan yang dia dapatkan selama berjualan sate ini. Kendala pertama adalah cuaca, malam yang kurang bersahabat membuat mas Mudi tidak bisa banyak melangkahkan kaki dan akhirnya pembeli yang dia dapatkanpun hanya sedikit. Kendala kedua adalah harga bahan kebutuhan berjualan satenya yang tiba-tiba naik, seperti harga bawang, cabai dan harga daging. Menurutnya kendala pertama dan kedua ini sifatnya periodic tidak ada setiap hari namun jika hal itu sudah terjadi sangat berasa dampaknya. Berbeda jika kendalanya hanya pada ban gerobak yang kempes atau bocor, menurutnya jika kendala ini terjadi tidak seberapa mengganggu jualannya. Kendala ban kempespun sudah diantisiapsi dengan membawa pompa angina manual setiap harinya. Ada kendala juga yang sifatnya tiba-tiba yaitu ketika jalan ditutup karena ada cara warga. Daerah Kerto sering sekali terjadi hal ini, sebenarnya tidak seberapa besar dampaknya namun hal ini harus membutuhkan tenaga dan waktu lebih untuk sampai titik-titik tempat mas Mudi mangkal.
            Dengan berbagai hambatan dan kendala tersebut lantas tak membuat mas Mudi jadi malas dan lupa akan tekadnya. Dari kendala tersebut juga mas Mudi masih sanggup meraup pundi-pundi rupiah untuk menciptakan mimpinya, baik mimpi utamanya yaitu untuk membalas jasa orang tuanya dan menikahi seorang wanita yang tidak dia sebut namanya, maupun mimpinya terkait usaha ini, yaitu membuat warung makan sate. Membahagiakan orang tuanya sebenarnya dia rangkap dengan mimpinya menikahi seorang wanita, sebab mas Mudi yakin orang tuanya akan sangat bahagia ketika dia menikah nantinya. Untuk mimpinya membuat warung makan sate ini dirasa perlu dia lakukan untuk kehidupan keluarga kecilnya di masa depan dan sebagai aset bagianya ketika di masa akan datang mas Mudi sudah tidak sanggup berjalan jauh lagi untuk menjual sate-satenya.
            Adanya mas Mudi di depan Griya Kost AA, Kerto Rahayu membuat penghuni Kost merasa bahwa sate mas Mudi sangat tepat dikala mager atau males gerak melanda, hal ini sangat Ersa (mahasiswa Psikologi, FISIP UB) rasakan ketika dirinya merasa malas untuk membeli makan jauh. Mas Mudi juga sangat dianggap membantu mas Dedi, penjaga Griya Kost AA, yang setiap malam ngobrol selagi mas Dedi menunggu penghuni kostnya dan akan menutup gerbang sekitar pukul 23.00. Namun menurut mas Dedi kalau mas Mudi masih sedikit penjualannya pada jam-jam segitu mas Mudi sudah tidak ada di depan kosan yang dia jaga tersebut. Menurut mas Dedi, memang mas Mudi adalah sosok yang pekerja keras, terbukti diusia mudanya dia sangat semangat bekerja untuk menggapai apa yang dia impikan di masa depan. Menurut mas Dedi juga terkait pertanyaan apakah asap mas Mudi mengganggu, mas Dedi menjawab kalau daerah Kerto sangat salah jika terganggu dengan asap apalagi hanya asap satenya mas Mudi yang ada hanya pada beberapa jam saja, karena pada siang hari asap-asap rumah makan lebih banyak dari asap mas Mudi.
            Itulah cerita mengenai mas Mudi, yang pada gambar di atas terlihat mas Mudi sedang menyiapkan sate yang dipesan oleh pembeli. Semoga melalui gambar dan deskripsi ini kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran tentang kehidupan. Mas Mudi mengajarkan kita bahwa hidup tidak boleh terus bergantung pada orang tua, masa depan kita harus kita sendiri yang mengejarnya bukan orang lain. Asap yang setiap harinya membelah malam Kerto semoga bisa menuntun mas Mudi pada masa depan yang dia cita-citakan.

Komentar

Postingan Populer