Diversifikasi Pangan dan Folklore: Bongkar Konstruksi Lama dan Perkokoh Indentitas Bangsa dengan Kuliner Tradisional
Latar Belakang
Kuliner Tradisional merupakan salah
satu bentuk folklore yang terrepresentasi ke dalam olehan bahan pangan dengan
basis sumber daya alam masing-masing daerah di Indonesia. Kuliner tradisional
bisa melambangkan identitas suatu daerah dengan makna dan bahannya yang unik.
Keberadaan Kuliner Tradisional diberbagai negara di dunia semakin diperkuat
dengan inovasi baru tanpa menghilangkan identitas pemilik kuliner tersebut.
Sebagai contoh Ramen, Sushi, dan Takoyaki yang merupakan kuliner
tradisional Negara Jepang kian hari keberadaannya kian dicari bukan hanya di
Jepang tetapi de negara-negara lain di dunia, salah satunya Indonesia.
Membayangkan kuliner yang sudah
menjadi identitas sutau negara bisa membawa penikmatnya masuk ke dalam negara
tersebut secara imajiner. Konsep inilah yang ditawarkan Jepang dalam
memperkokoh identitas bangsanya. Indonesia hari ini masih terbayang-bayang
dengan konstruksi lama dan belum bangkit untuk memperkokoh indetitas bangsanya
melalui kuliner. Beberapa upaya yang dilakukan seperti festival kuliner dan
pengakuan salah satu kuliner kepada UNESCO masih dirasa kurang untuk
memperkokoh budaya bangsa. Menurut penulis hal ini dirasa kurang sebab layaknya
bangunan yang memperkokohnya adalah bukan unsur dari luar namun unsur dari
dalam lah seperti material bangunan itu sendiri. Mengambil analogi ini, untuk
memperkokoh identitas nasional melalui kuliner cara yang ampuh dilakukan adalah
membongkar konstruksi lama masyarakat Indonesia yang tumbuh pada masa Orde
Baru.
Pernah terngiang di masa Orde Baru
“Belum Makan Kalau Belum Makan Nasi” merupakan siasat pemerintah dalam
mensukseskan swasembada beras. Bukan hanya melalui slogan tersebut
petani-petani pada masa itu dipaksa melakukan revolusi hijau dengan menanam
padi. Alhasil cukup berhasil menjadikan Indonesia sebagai lumbung padi Asia,
namun di sisi lain terjadi decentralisasi pangan pokok bangsa Indonesia pada
nasi. Sehingga kuliner-kuliner lain namanya tenggelam di balik nasi dan
Indonesia justru bercitra pada konstruksi pemerintah bukan pada ke agungan
budaya setiap daerahnya melalui kuliner tradisional.
Menjawab permasalahan di atas
penulis mencoba mengungkapkan solusinya melalui perpaduan antara folklore yang
berkembang di masyarakat berupa kuliner tradisional dengan diversifikasi
pangan. Hal ini bukan hanya bertujuan sebagai memperkokoh identitas bangsa
melalui kuliner namun juga bisa menjawab permasalahan yang ada di masyarakat
Indonesia saat ini, yaitu impor beras. Memberdayakan masyrakat Indonesia
sejatinya makanan pokok itu bukan nasi namun makanan-makanan tradisional yang
mereka makan berdasarkan potensi alam di daerah mereka. Bayangkan jika
masyarakat Indonesia seluruhnya merepkan diversifikasi pangan di Indonesia
dengan kuliner tradisional, hal ini akan membuat indentitas masyarakat
Indonesia yang sempat terkubur kembali bangkit. Sehingga UNESCO bukan hanya
mengakui rendang sebagai makanan khas Indonesia namun juga bisa mengakui
makanan-makanan tradisional lainnya.
Namun dalam tulisan ini hanya
dijelaskan beberapa kuliner tradisonal yang dianggap penulis sangat sarat akan
makna bagi masyarakat pemilik kulinernya. Bukan hanya makna diduga
kuliner-kuliner ini sempat menjadi makanan pokok sebelum nasi jika dilihat dari
nilai gizinya. Makanan-makanan yang masuk dalam tulisan ini meliputi Gethuk, Jenang, Sekubal, Papeda, dan Pisang
Epe. Makanan-makanan tersebut terbuat dari bahan dasar yang bisa
menggantikan beras sebagai sumber karbohidrat masyrakt Indonesia, namun dari
segi kesehatan, budaya, dan sosial makanan-makanan ini jauh lebih baik dari
nasi dan mampu memperkokoh identitas bangsa Indonesia.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah pada tulisan ini adalah bagaimana memperkokoh identitas bangsa
Indonesia melalui Folklore dan Diversifikasi pangan?. Tulisan ini bertujuan
untuk memaparkan analisa penulis mengenai hubungan folklore dan diverisfikasi
pangan dalam memperkokoh identitas budaya bangsa.
Pembahasan
Mengapa Harus Diversifikasi Pangan dan Folklore?
Indonesia
saat ini sedang bergejolak akan keadaan pangan yang terus-terusan melakukan
impor beras dari negara-negara lain di Asia Tenggara. Hal ini membuat Indonesia
lemah secara pangan di mata dunia. Padahal makanan pokok Indonesia yang
dianggap nasi adalah konstruksi belaka dari masa Orde Baru. Dahulu makanan
pokok Indonesia bukan hanya nasi namun banyak jenisnya. Diversifikasi ini coba
diangkat kembali bersama dengan folklore berupa kuliner tradisional untuk
menjadi solusi atas permasalahan impor beras di Indonesia.
Mungkin terlalu naif apabila
diversifikasi bisa memperkokoh identitas bangsa. Mengapa tidak, diversifikasi
pangan jika diterapkan di seluruh Indonesia bayangkan berapa jenis makanan yang
ada setiap harinya di meja makan masyrakat Indonesia. Bukankah hal ini akan
memperkokoh identitas Indonesia yang terkenal kaya akan adat istiadat dan
budaya. Menurut chef dan ahli kuliner Nusantara, William Wongso, menelusuri
kuliner sebagai sebuah tradisi dan warisan yang orisinal sukar dilakukan karena
pengaruh dan sentuh budaya dari luar. Mengenai cara atau teknik pengolahan
makanan, setiap daerah memiliki kekhasan yang pada akhirnya memunculkan “cita
rasa”.
Sehingga diversifikasi pangan ini
bisa dilakukan pemerintah bukan hanya sebagai solusi atas impor beras yang
tinggi namun juga sebagai upaya memperkokoh budaya bangsa melalui kuliner.
Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas kuliner yang bisa mewakili
daerahnya masing-masing dan mempertegas kekayaan alam Indonesia. Bukan hanya
itu setiap kuliner juga mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat pemiliknya
sehingga setiap makna itu harus dipertahankan untuk semakin memperkuat
kosmologi masyrakat. Pada sub-bab selanjutnya akan dijelaskan kuliner-kuliner
Indonesia beserta cara pembuatan dan maknanya bagi masyarakat pemilik kuliner.
Gethuk
Mendengar
nama ini pasti untuk masyarakat Jawa sudah tidak asing lagi. Gehtuk memang berkembang dan banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Jawa. Berkaitan dengan bahan baku dari ghetuk sendiri yaitu umbi akar atau
singkong jauh sebelum nasi sudah banyak digunakan dalam makanan pokok lainnya.
Singkong banyak digunakan masyarakat Jawa dalam makanan pokok sebelum nasi
seperti; Tiwul, Sawut, Utri atau Lemet, dan masih banyak lagi.
Filosofi dari getuk singkong adalah
melambangkan kesederhanaan dan mempergunakan potensi yang kita miliki secara
aktif dan kreatif sehingga membuat kita lebih mandiri dalam berbagai macam
situasi. Pada dasarnya Getuk Singkong itu melambangkan kesederhanaan, nrimo ing pandum, apa adanya, dan jauh
dari sikap konsumerisme atau gagah-gagahan semata (Pusparini, 2013). Di
saat-saat bangsa sedang dilanda krisis ekonomi yang berimbas pada fluktuasi
harga barang dan sembako, dan berujung pada rendahnya daya beli masyarakat, maka
rakyat diajak untuk mengeratkan tali pinggang meskipun hanya dengan
mengkonsumsi singkong. Dalam kondisi yang demikian, singkong pun bisa menjadi
pilihan yang tepat untuk bertahan karena memang harganya yang murah meriah dan
bisa didapatkan di mana saja.Siapapun tentu kenal baik dengan singkong. Tanaman
‘kaum alit’ ini boleh dikatakan sangat digemari oleh masyarakat Indonesia.
Bukan semata umbinya yang bercita rasa khas, kemudian filosofi tentang singkong
telah mengajarkan kepada kita bahwa kesederhanaan dan kerendah-hatian dan
dibarengi dengan berbagai macam potensi diri yang memadai, akan menjadikan
hidup kita lebih acceptable di segala ruang dan waktu.
Jenang
Eksistensi jenang di kalangan
masyarakat Jawa khususnya di wilayah Surakarta sudah melekat sejak zaman
kerajaan hindu-budha dan era walisongo sampai sekarang. Jenang, makanan khas
penduduk Jawa yang terbuat dari beras putih dan beras ketan, kerap hadir
sebagai makanan pelengkap di berbagai acara seperti hajatan pernikahan,
selamatan ibu hamil, selamatan bayi yang baru lahir, selamatan orang meninggal
dan masih banyak lagi berbagai acara adat maupun keagamaan. Segala macam acara
tersebut tidak pernah lepas dari kehadiran jenang dan makanan ini diyakini
muncul dari kreativitas masyarakat setempat. Jenang bukan sekedar makanan khas
yang digemari oleh penduduk Jawa. Lebih dari itu, jenang ternyata memiliki
filosofis dan simbol-simbol yang diyakini oleh orang Jawa. Selain sebagai rasa
syukur kepada-Nya, jenang juga dijadikan simbol doa, persatuan, harapan, dan
semangat masyarakat Jawa. Jenis-jenis simbol antar jenang satu dengan lainnya
berbeda-beda mengingat ada beberapa jenis jenang yang terkenal di Pulau Jawa.
Yang pertama adalah jenang sumsum.
Jenang ini terbuat dari beras putih yang dicampur dengan beras ketan sedikit
kemudian ditaburi dengan gula merah atau gula putih di atasnya. Selain warnanya
yang putih bersih dan diyakini sebagai simbol kebersihan hati dan
kesejahteraan, jenang ini kerap disuguhkan ketika ada acara pernikahan dan
dipercaya akan mendatangkan kesehatan, berkah, dan juga kekuatan bagi pasangan
serta panitia hajatan. Kedua adalah jenang procotan yang kerap disajikan di
acara selamatan ibu hamil pada bulan ketujuh masa kehamilan. Jenang ini
dipercaya sebagai simbol keselamatan dan kelancaran untuk ibu hamil yang akan
melahirkan. Selain itu, jenang ini juga terkadang disajikan dengan jenang
sepasaran yang disuguhkan ketika memberi nama kepada bayi yang baru lahir
sehingga juga dipercaya sebagai simbol doa untuk anak. Ketiga adalah jenang
abang atau merah yang juga disebut jenang 'sengkala'. Jenang ini sekilas mirip
jenang sumsum yaitu berwarna putih yang dicampur dengan gula merah dan
terkadang dengan parutan kelapa di atasnya. Acara-acara seperti penyambutan
bulan baru kalender Jawa atau yang disebut dengan “suro” ini sering
menghadirkan jenang abang sebagai makanan pelengkap dan menjadi makanan khas
yang wajib disajikan. Jenang ini memiliki simbol rasa syukur kepada Tuhan akan
datangnya bulan baru dan juga sebagai ungkapan doa 'penyerahan diri' kepada
Tuhan untuk memohon keselamatan dan keberkahan. Keempat adalah jenang ireng.
Kata “ireng” dalam Bahasa Jawa berarti hitam. Jenang ini terbuat dari beras
ketan hitam yang dipadu dengan kuah santan segar dan wangi daun pandan. Jenang
ini sering disajikan di berbagai acara ritual kegamaan dan juga selametan ibu
hamil. Selain dipercaya dapat mendatangkan keberkahan, jenang ini juga
dijadikan makanan pelengkap yang bagus untuk ibu hamil karena citra rasanya
yang manis dan mengandung khasiat ketan hitam. Kelima adalah jenang grendul.
Jenang ini juga biasa disebut jenang candhil dan terbuat dari tepung ketan dan
dicampur dengan gula merah sehingga memunculkan warna merah kecoklatan. Jenang
ini memiliki tekstur kenyal dan berbentuk seperti bola-bola kecil dan dipadukan
dengan kuah santan pada penyajiannya. Pada acara-acara formal atau kuliner
keluarga, jenang ini disajikan dan diyakini sebagai simbol keharmonisan hidup
yang diwarnai oleh perbedaan. Selain itu, ada nilai eksentris yang terkandung di
dalamnya, baik adat maupun budaya.
Selain jenis jenang-jenang di atas,
ada banyak jenang lainnya yang juga merupakan makanan khas masyarakat Jawa dan
menjadi makanan pelengkap wajib yang harus disajikan di berbagai acara
keagamaan, adat, maupun budaya. Kini, jenangpun tidak hanya terkenal di sekitar
wilayah Pulau Jawa namun juga di berbagai daerah di Indonesia. Banyak juga
wisatawan asing yang sengaja berkunjung ke tempat-tempat pembuatan jenang khas
di Kota Yogyakarta dan Semarang untuk belajar cara membuat jenang.
Sekubal
Sekubal adalah makanan khas
masyarakat Lampung yang terbuat dari ketan dan santan yang dibungkus daun
pisang lalu dikukus ataupun direbus. Memasak sekubal harus penuh ketelatenan
dan kesabaran karena proses pembuatan sekubal membutuhkan waktu 8-10 jam.
Biasanya sekubal disajikan bersama dengan tape ketan ataupun bumbu rendang.
Rasanya yang nikmat, gurih dan mengenyangkan, menjadikan sekubal sebagai
makanan favorit yang tak pernah tinggal ketika perayaan besar seperti
pernihakan, Begawei, kegiatan adat dan perayaan hari besar keagamaan.
Meski hanya berupa kue ketan yang
dibungkus dengan daun pisang, segubal punya makna dalam masyarakat Lampung. Sekubal
menjadi semacam simbol dan bagian dari tradisi adat yang penting dalam
masyarakat Lampung. Dulu, saat gawi-gawi adat di helat di daerah-daerah kantong
masyarakat Lampung yang masih kental dengan adat istiadatnya, Sekubal ini harus
ada. Saat pemilik gawi menyajikan makanan ke tokoh-tokoh adat maupun tetamunya,
jika tidak ada Sekubal ini akan jadi omongan bahkan cibiran. Atau, ketika sekubal
ini ada, tetapi rasanya tak sesuai, maka ini menjadi seperti aib. Karena itu, Sekubal
sering dijadikan sebagai sesan (buah tangan) saat orang Lampung akan melamar
atau mengantar calon pengantin menikah. Waktu manjau mengian (pengantin pria
Lampung bertandang ke rumah kerabat istrinya), kue ini juga harus ada dan jadi
sajian sebelum nyeruit (adat makan bersama masyrakat Lampung). Namun, lambat
laun, sekubal semakin tergerus dengan gempuran berbagai macam kue-kue modern.
Sekubal punya makna layaknya lambang harga diri masyarakat Lampung, penentu
relasi sesama adat Lampung dan pengikat kerukunan masyarakat Lampung.
Papeda
Papeda
adalah makanan tradisional Indonesia yang berbahan dasar sagu. Kebanyakan orang
menganggap makanan ini berasal dari Papua, namun sebenarnya papeda juga
dijumpai di beberapa daerah di Indonesia Timur, seperti Maluku (dengan nama
sama, papeda), di Sulawesi Selatan (dengan nama kapurung), bahkan di Brunai
Darussalam dan beberapa daerah di Malaysia (dengan nama Linut).
Sebelum disajikan terlebih dahulu,
bubur sagu disaring dan ditambahi perasan air jeruk untuk menambah kelezatan
rasa, dan ditambah air panas secukupnya kemudian diaduk sampai mengembang.
Makanan bertekstur kenyal umumnya disantap dengan ikan kuah pedas dan sayur
tagas-tagas yang terbuat dari campuran daun singkong, bunga pepaya, dan ubi
jalar. Papeda makin lezat bila disantap selagi hangat. Cara memakannya bisa
bermacam-macam: Bisa menggunakan sendok (meski agak sulit karena tekstur papeda
yang kenyal), menggunakan sumpit (dengan cara digulung berulang-ulang dengan
dua batang sumpit), dan disedot atau diseruput secara langsung (cara ini lebih banyak dipakai penduduk
asli).
Asal-usul nama “papeda” sulit
ditelusuri. Namun di Papua, papeda dikenal sebagai “makanan komunikasi” karena
mulai dari proses produksi hingga menyajikannya di meja makan, papeda selalu
melibatkan banyak orang. Semua proses tersebut melibatkan komunikasi antara
orang-orang yang terlibat, dan seringkali proses tersebut disertai dinamika
saling berbagi cerita dan memecahkan masalah yang dihadapi. Konon, banyak
masyarakat asli Papua memecahkan masalah-masalah rumit di meja makan. Filosofi
inilah juga menggambarkan bagaimana “nilai-nilai papeda” dipahami bukan sekedar
panganan saja namun memiliki nilai filosofis yang tinggi sebagai makanan yang
mampu mempererat hubungan masyarakat pemiliki kuliner ini.
Pisang
Epe
Hidangan dengan bahan dasar pisang
telah ada banyak ragam namun menu ini sedikit berbeda dari menu pisang yang
lainnya, Pisang Epe merupakan salah satu makanan berbahan dasar pisang yang
memiliki keunikan tersendiri. Pisang Epe adalah makanan khas dari kota
Makassar, Makanan khas Makassar ini cukup unik karena menu ini lebih memilih
pisang yang masih mentah untuk dijadikan bahan dasar makanan daripada pisang
yang sudah ranum (masak).
Pisang
epe menjadi makanan favorit bagi semua orang termasuk turis lokal maupun
internasional yang berkunjung ke daerah ini. Kata “epe” sendiri berasal dari
bahasa Makassar yang berarti “jepit”, jadi pisang epe secara lengkap bisa
diartikan menjadi pisang bakar yang dijepit dan menjadi gepeng dengan berbahan
dasar dari pisang, tepatnya pisang Raja yang belum terlalu masak dan tidak
lembek. Dengan nama unik ini membuat semua orang dengan mudah untuk
mengingatnya.
Konon menurut beberapa literasi
pisang epe keberadaannya sering dikaitkan dengan permasalahan gizi di Makasar.
Bisa dikatakan makna filosofis dari mkanan ini adalah sebagai salah satu
penentu kelas sosial di Makasar, namun keberadaannya bukan hanya sebagai
penentu kelas sosial. Pisang Epe justru kini dicari masyarakat kelas sosial
atas sebagai upaya pencegahan diabete karena tingkat kandungan karbohidrat yang
tinggi namun tidak berbahaya untuk penderita penyakit diabetes militus karena
pisang yang digunakan masih mentah dan bahan gula yang digunakan pun gula
merah.
Kesimpulan
Krisis
pangan tidak seharusnya terjadi di Indonesia. Kekayaan folklore berupa kuliner
di Indonesia bisa diangkat kembali bukan hanya sebagai upaya menangani krisis
pangan namun juga bisa menjadi material kuat dalam memperkokoh identitas budaya
bangsa. Bahan pangan bukan hanya beras, dari Sabang sampai Marauke banyak bahan
pangan tersebar dan siap dioleh dengan resep-resep warisan budaya menjadi anke
kuliner penuh makna dan representasi adat istiadat.
Diversifikasi pangan sangat
diperlukan di Indonesia terlebih di era globalisasi ini. Sebagai daerah yang
kaya akan kekayaan kuliner bukan hanya rendang harusnya berbagai macam makanan
lain pun bisa mendunia jika diversifikasi pangan ini dilaksanakan dan
masyarakat Indonesia memasak sesuai dengan sumber daya alam yang mereka miliki
di setiap daerah. Bukan terpaku dengan beras yang merupakan konstruksi kolonial
dan rezim Orde Baru. Tetapi terpaku dengan adat istiadat berupa resep makanan
tradisional yang menjadi folklore dan identitas bagi bangsa ini.
Daftar Pustaka
Baehaqi, Imam. 2014. Jenang
Mancawarna Sebagai Simbol Multikulturalisme Masyrakat Jawa. Jurnal
Komunitas Universitas Negeri Semarang.
Budiono Herusatoto. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Penerbit PT. Hanindita.
Danandjaja, James. 1986. FOLKLORE INDONESIA: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Penerbit Pustaka GrafitiPers.
Haliza, Purwani dkk. 2010. Pemanfaatan Kacang-kacangan Lokal Mendukung Diversifikasi Pangan.
Jurnal Pembangunan Inovasi Pertanian.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2004. Ensiklopedia Makanan Tradisional Indonesia
(Sumatera). Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Pusparini, Yuni Kristi. 2013. GREBEG GETHUK: Sebuah Kajian Budaya. Skripsi Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga.
Sukrama, Edi. 2009. Aneka
Ragam Khas Jawa Timur. Bandung: Penerbit
PT. Sarana Panca Karya Nusa.
Komentar
Posting Komentar