Bad Genius The Series: Sinopsis, Review dan Perbandingan dengan Kehidupan Nyata Penulis
Mencontek memang bukan diksi baru dalam dunia pendidikan. Saya kira mencontek dengan kode-kode tertentu hanya pernah saya dan teman-teman saya lakukan. Film “Bad Genius” yang kini diadaptasi ke dalam bentuk series memanjakan kita dengan ketegangan mencontek yang dilakukan oleh beberapa siswa SMA Pendidikan Bangkok. Gaya dan kode-kode yang mereka gunakan untuk menyebarluaskan jawabanpun dibilang cukup jenius, jadi wajar kalau judulnya adalah “Jenius Nakal”.
Kisah dimulai ketika siswa jenius Lin (tokoh utama perempuan) sedang mengikuti kejuaran scrabble dan Lin mendapati musuhnya melakukan kecurangan yang dibantu oleh pihak guru. Melihat itu Lin hanya diam sekaligus berfikir bagaimana caranya untuk menang menghadapi musuh yang curang itu. Hebatnya Lin di akhir lngkahnya dalam bermain scrabble tersebut dia membuat kata yang mencengangkan “CHEATERS” yang artinya orang yang melakukan kecurangan. Berkat adegan pembuka yang epik tersebut, Lin memulai kehidupan di sekolah barunya sebagai pembantu “CHEATERS”.
Setelah kejuaran scrable Lin mendapat tawaran beasiswa di sekolah elit sekaligus ternama, Sekolah Pendidikan Bangkok. Singkat cerita Lin hanya mengetahui bahwa doi masuk sekolah itu berkat jalur beasiswa full, namun siapa sangka ternyata doi masuk situ dengan berbagi beasiswa kepada siswa jenius lainnya, Bank. Hal lain yang membuat Lin si jenius polos berubah menjadi jenius nakal adalah ternyata sekolah tersebut meminta uang “gedung” (mungkin jika disamakan dengan bahasa kita di Indonesia) kepada ayah Lin, yang terobsesi memasukan Lin ke sekolah itu. Mulai dari situ Lin marah dan berfikir jika sekolah bisa mendapatkan uang dari dirinya, mengapa dia tidak mencoba mendapat uang dari sekolah. Sehingga jadilah dia joki contek saat ujian.
Lin punya 5 klien yang harus membayarnya sebanyak 120.000 Baht selama satu semester. Pat, Grace, Third, Ping, dan Tong, ke limanya memiliki keunikan dan watak yang menarik. Pat orang kaya raya yang sanggup membelikan sekolah macbook seabrek-abrek demi dia bersekolah di sekolah bergengsi. Grace, cewek dengan keunikan “banci panggung” sampai rela nyontek demi nilai gede dan bisa main di drama sekolah. Third, si atlet renang yang temprament dan sejauh ini paling egois dan ngeselin. Ping, penyiar radio sekolah yang memanfaatkan fasilitas sekolah untuk melakukan tindakan yang melarang aturan sekolah (gila doi mau-mauan menjadikan peralatan siaran buat jadi media mencontek). Terakhir, Tong, cowok lugu sedikit bodoh secara tampang dan penampilan ternyata tergila-gila dengan Grace dan rela dimanfaatkan Grace demi hasrat seksualnya.
Sejauh ini selama kurang lebih lima episode konflik antara Lin dan 5 kliennya ini cukup membuat saya masuk dan mengikuti mereka punya konflik. Melanggar peraturan sekolah, memergoki guru yang berlaku curang, sampai pengkhianatan dalam kerja demi ambisi pribadi. Konflik semakin seru dengan bumbu-bumbu dari hadirnya Bank yang sempat dikhawatirkan Pat akan menjadi kelemahan bagi Lin. Benar saja, Bank sanggup menjadikan Lin bucin sehingga ketika Bank yang dituduh menyebarkan contekan yang deketahui oleh guru, Lin meminta agar kliennya mengakui bahwa itu milik mereka. Melalui pergejolakan ini Grace sang pelaku utama karena ke”banci panggung”an dia akhirnya harus merelakan waktu, kesetiaannya pada Pat, dan tubuhnya dimanfaatkan oleh Tong. Prahara kisah cinta dan persahabatan ala putih abu-abu ini pun harus mengalami terpaan puting beliung akibat ambisi. Masalah ini sempat terlewatkan begitu saja dan diganti dengan masalah baru yang lebih menjurus dan lebih besar. Lin dan kliennya yang semakin banyak dari berbagai kelas ketahuan mencontek karena menggunakan fasilitas penyiaran sekolah. Lin harus diskors karena masalah ini selama 1 semester sehingga dia tidak bisa lulus bersama teman-temannya.
Menjalani hari-hari menjadi siswa yang hanya belajar di rumah karena tidak bisa sekolah, Lin berupaya mengumpulkan biaya untuk kuliah ke luar negeri dengan mengajar bimbel. Lin kesal dengan murid-murid yang dia ajarkan karena tidak memperhatikan dia mengajar dan dia menyangkan biaya yang dikeluarkan orang tua murid-muridnya jika mereka tidak fokus belajar. Hal tersebut membuat Lin mendapat masalah karena tidak ada lagi siswa yang mau diajarkan dengan dia, akhirnya si pemilik bimbel menawarkan Lin untuk jadi joki tes perguruan tinggi Internasional. Sampai akhirnya Lin kembali bekerjasama dengan klien sekaligus kolega lamanya Pat dan Grace untuk membuat kecurangan di tingkat yang lebih tinggi. Namun mereka membutuhkan bukan hanya satu anak jenius tapi minimal dua anak jenius. Pucuk dicinta ulam pun tiba Pat yang tadinya anti sama contek mencontek menawarkan diri untuk menjadi joki dan membantu melakukan kecurangan. Dan bersambung sampai situ cerita Bad Genius The Series nya yang baru saya tonton.
Banyak hal menarik sejauhlima episode berlangsung di Bad Genius The Series ini. Ada beberapa kesamaan sosial budaya yang terjadi antara Thailand dan Indonesia. Kesamaan tersebut juga justru mencipkan cheater-cheater di tingkat sekolah yang praktiknya hampir sama. Bahkan hal ini pernah saya alami sendiri, meski sama namun ada hal yang berbeda antara saya dan Lin (PD banget kalau harus menyamakan diri saya dengan karakter Lin ditambah saya tidak memiliki keberanian melakukan kecurangan sampai ke tingkat Internasional).
Persamaan dan perbedaan Bad Genius dengan Real Life yang saya alami;
1. Kebanyakan orang berlomba-lomba masuk ke sekolah unggulan, favorit atau apalah itu.
Saya kira hal ini hanya terjadi di Indonesia bahwa orang tua atau siswa rela mengeluarkan berapa saja yang mereka punya untuk masuk dan menjadi bagian dari sekolah favorit. Persamaan antara Bad Genius dengan hal yang pernah saya alami adalah sama-sama ingin masuk sekolah bertitle favorit, unggulan, atau juara apalah itu nyatanya juara dalam memelihara guru tak bertanggungjawab (sama seperti di Bad Genius, bagaimana pak Soporn harus keluar akibat kebodohannya memberikan soal ujian kepada murid-murid bimbingannya). Letak perbedaannya mungkin di Thailand pihak sekolah tujuan terbuka untuk meminta biaya “gedung” pada calon siswa meskipun itu siswa jenius setingkat Lin. Namun di real life yang pernah saya ketahui adalah justru calon siswa yang sudah berancang-ancang di jenjang sekolah sebelumnya untuk mendongkrak nilai mereka kepada guru dengan memberikan embel-embel hadiah kepada guru ketika hendak pembagian laporan hasil belajar. Yaah itu si yang saya tahu tapi ada juga yang pernah saya dengar itu praktik membeli kursi, engga tahu sama atau tidak seperti yang dilakukan ayah Lin, namun menurut saya itu beda.
2. Alasan memberikan contekan
Lin memberikan contekan awalnya itu karena demi persahabatan dengan Grace, namun sayang Grace terlalu gacor sama pacarnya, Pat. Sehingga Pat rela meracuni Lin dengan doktrin-doktrin ekonomi dan kebengisan sekolah menyedot uang dari para siswa. Akhirnya Lin berupaya membantu ayahnya membiaya sekolah dengan dalih sekolahnya sudah dibiayai beasiswa padahal itu uang haram hasil menjual kunci jawaban. Ada hal yang sama dan berbeda dengan Lin, saat sekolah dulu saya memberikan contekan pada siswa lain adalah karena memang mereka teman-teman saya “ketika sekolah” (saat ini banyak yang lupa tuh sama saya) dan ke dua sama seperti Lin mereka klien saya namun uang mereka bukan saya gunakan untuk biaya sekolah melainkan untuk uang jajan sekolah mengingat betapa susahnya kondisi keuangan keluarga saya saat itu. Dengan alasan apapun itu menurut saya membagikan contekan itu tidak dibenarkan, ujung-ujung saya pun yang dulu rajin memberikan contekan untuk teman-teman saya kini mengutuk mereka karena mengabaikan saya saat ini. Jika mau menolong teman lebih baik belajar bersama, terlihat jika itu hasil perjuangan bersama bukan karena hasil pemberian semata.
3. Cara Mencontek
Oke kita lupakan kekesalan saya dengan teman-teman saya semasa sekolah yang suka minta contek ke saya. Sekarang kita bahas bagaimana cara Lin dan saya membagikan contekan. Cara jenius yang dilakukan Lin adalah dengan mencontek menggunakan jam kelas. Bayangkan Lin mengerjakan 60 soal diberi waktu sekitar 2,5 jam dan dia menyelesaikan soalnya dalam 1,5 jam dan sisanya untuk memberikan jawaban. Jam dinding pada kelas dijadikan clue jarum yang menunjuk menit untuk menginformasikan soal dan jarum detik menunjukan jawaban dengan gerakan tangan kanan Lin sebagi klue pendukung. Angka 1 pada jarum detik melambangkan jawaban A, angka 2 B, angka 3 C, dan angka 4 D. Mungkin cara ini tidak pernah terpikirkan oleh saya dan teman-teman karena saya hanya cukup memberikan jawaban dengan cara bertanya kepada teman mereka butuh nomor berapa lalu saya memberikan mereka jawaban dengan memakai jari. Jika jari yang terbuka 1 berarti A, terbuka 2 (peace) B, terbuka 3 C, terbukan 4 D dan terbuka kelimanya E. Memang cara ini saya rasa lebih efisien dibanding caranya Lin namun cara ini jadi tak sejenius Lin ketika kita tidak bisa memberikan jawaban sekaligus untuk banyak orang dan soal yang berurutan di kelas.
Cara ke dua yang dilakukan Lin dkk adalah dengan memanfaatkan ruang penyiaran radio sekolah. Cukup beresiko tinggi dan benar saja cara itu ketahuan di Bad Genius. Patut dikatakan cara itu jenius untuk menyebarkan jawaban ke banyak kelas mengingat alat komunikasi pasti dilarang digunakan bahkan ketat pengawasannya. Berbeda dengan yang pernah saya alami justru saya dan teman-teman saya nekad menggunakan alat komunikasi untuk berbagi jawaban. Saat itu teman-teman saya sudah menggunakan Hp canggih keluaran Black Berry, sementara saya hanya HP tiruannya itupun milik bersama dengan ayah saya, HP Nexian. Teman-teman bingung bagaimana cara saya membagikan jawaban dengan mereka yang berbeda kelas, akhirnya saya ngide untuk melakukan pesan berantai dengan mengirimi gambar jawaban saya via bluetooth pada teman saya yang memiliki Hp Black Berry untuk disebarkan ke banyak orang. Setelah saya selesai menjawab semua soal saya mulai memotret jawaban ketika guru pengawas lengah dan mulai mengirimi jawaban via bluetooth dan syaratnya bluetooth Hp saya dan teman saya harus diaktifkan sedari awal ujian di mulai.
Itu tadi sih beberapa persamaan Bad Genius The Series dengan apa yang pernah terjadi di kehidupan nyata saya. Intinya kalau menurut saya mencontek itu apapun alasannya tidak baik, namun bagaimana budaya mencontek di lingkungan kita ini khususnya bisa hilang jika sistem-sistem yang diterapkan di dalam keluarga yang merupakan pendukung utama siswa saja sudah memaksa siswa yang memiliki bakat berenang seperti ikan untuk mahir memanjat pohon layaknya kera. Terkadang keluarga justru memaksakan kehendak anak untuk memilih sekolah, jurusan, bahkan teman yang harus siswa pilih. Lalu sekolah dan pemerintah yang serta merta menjadikan nilai akademis sebagai 1-1 nya tolak ukur keberhasilan belajar. Padahal banyak siswa yang mahir dalam futsal, basket, renang, dan bernyanyi namun tidak mahir dalam matematika, biologi, atau fisika akhirnya harus merelakan kemahiran mereka hanya demi memperlajari apa yang sebenarnya tidak mereka kuasai. Akhirnya belajr mereka jadi ogah-ogahan dan mereka jadi gampang menggunakan uang mereka untuk membayar teman mengerjakan PR dan memberikan contekan ketika ujian. Semoga ini menjadi pembelajaran kita semua, karena saya tahu ketika saya membagikan contekan saya merasa kasihan sama mereka yang rela membayar saya hanya demi hal yang sepatutnya mereka tidak perlu membayar pun tidak apa-apa dan baiknya mereka jujur pada kemampuan mereka (tapi jika seperti itu masa SMP dan SMA saya akan banyak di kelas di banding jajan di kantin hehehehe). SEKIAN
Komentar
Posting Komentar